Banyak kenangan yang kudapat di sini. Kenangan bersama Ria,
Alika, dan.. Robi... Salah satunya di bawah pohon cemara ini.
Entah mengapa, bagiku pohon cemara itu memberiku obsesi besar akan indahnya
persahabatan. Dan, bunga krisan yang kami tanam sepuluh tahun lalu di pohon
cemara ini, telah banyak berbunga. Wanginya yang khas banyak menebarkan aroma
kesejukan di sekitar padang ilalang yang menutupi sekeliling cemara ini.
Ah, indahnya kala itu…
Aku mengusap pelan batang cemara yang masih berukir namaku dan
sahabatku. Ukirannya masih tampak jelas meski hampir pudar dimakan waktu.
Pikiranku bernostalgia ke masa itu. Saat-saat itu.. masa-masa indah itu..
Aku memperhatikan cemara itu. Batangnya masih kokoh dan
daunnya masih tampak hijau dan segar. Bahkan, pohonnya makin tinggi dan
bercabang. Aku ingat, saat itu aku mencoba memanjatnya untuk mengambil ‘kok’
yang tersangkut di ujung dahannya. Tapi tak mampu, dan Robi yang berkursi roda
saat itu membantu dengan menjulurkan bambu yang kebetulan tergeletak di ujung kursi
rodanya.
Aku duduk di hamparan rumput di bawah naungan sejuknya pohon
cemara. Angin sepoi-sepoi meniupkan aroma khas daun krisan. Mataku terpejam,
kembali memilah memori indah di sini. Ah, aku duduk memeluk lutut. Menikmati
matahari sore, dan angin bertiup pelan, meniup poniku.
Aku melihat arlojiku. Hm, sebentar lagi dia akan muncul.
“Fariska?”
Ng? Aku menoleh. Mataku menyipit. Lalu, aku tersadar. Dia
tiba…
“Apa kabar? Sudah lama aku tidak kemari,” dia duduk di
sebelahku.
Dia memetik setangkai krisan. “Hm, bunga krisan ini tumbuh
subur. Tak sia-sia kita menanam dulu.”
“Ya,” aku tersenyum. Dia tak banyak berubah dari sepuluh
tahun yang lalu. Kamera kesayangannya masih saja disampirkan di lehernya,
seperti waktu itu.
“Bagaimana dengan karirmu, Fariska?”
“Begitulah, terkadang membosankan tiap hari harus berkutat
dengan klien dan komputer,” aku memeluk kakiku. “Bagaimana denganmu, Ria?”
Ria tersenyum. “Menyenangkan. Aku bersyukur telah memilih
menjadi fotografer.”
“Baguslah.”
Lalu kami diam. Mungkin Ria ingin menikmati saat ini,
mengenang saat itu.
“Bagaimana dengan Alika? Robi?” tanyaku pelan.
Terdengar helaan nafas berat. Aku menoleh padanya, meminta
jawaban.
“Begitulah, Ka,” suara Ria serak. “Alika pindah ke New
Zealand, mengikuti ibunya. Sejak orang tuanya bercerai, dia menjadi pemurung.
Ibunya memenangkan atas hak asuh dan dia mengikuti ibunya ke New Zealand,
tempat ayah barunya. Ya, ibunya menikah dengan warga negara sana.”
Aku terpukul mendengarnya.
“Kau masih sering menghubunginya?” tanyaku.
Ria menggeleng. “Dia pindah delapan tahun yang lalu, tanpa
pamitan dan tanpa tinggalkan email dan nomor yang bisa dihubungi.”
Aku membisu. Alika…
“Robi?”
Setetes air mata mengambang di sudut matanya. Pelan,
tangannya mengusap. Aku menggenggam erat rumput di sekelilingku. Aku takut akan
jawabannya.
“Robi meninggal lima tahun yang lalu. Kankernya sudah tak
mungkin disembuhkan. Sebuah keajaibanlah yang membuatnya bertahan hingga saat
itu. Kau tahu, Fariska? Dia menyimpan penyakit itu dengan susah payah. Dia
ingin, kita tetap bersama sela…”
Perkataan Ria terputus oleh tangis. Aku menyeka mataku yang
berair.
“Robi meninggal delapan agustus. Dia dimakamkan di Gorontalo,
tempat kelahirannya,” tukas Ria, diiringi isak pelan.
Pikiranku melayang, menjelajah. Duh, aku tak tahu apa-apa
tentang sahabatku semenjak aku memutuskan untuk bersekolah di luar negeri. Aku
menyesal telah meninggalkan mereka. Aku… aku…
Tiba-tiba, ponsel Ria berbunyi.
“Halo? Apa? Oh, ya, baik. Kapan? Sekarang? Ya, ya. Oke.”
“Fariska,” Ria menyentuh pelan pundakku.
“Ya?”
“Aku harus pergi,” dia bangkit dari duduknya.
Aku berdiri dan mengangguk pelan.
“Hati-hati,” pesanku sambil merangkulnya.
Ria tersenyum tipis dan berlalu.
*****
Setengah jam yang berarti
Aku memeluk lutut
dalam diam. Pikiranku menerawang. Masih ada rasa penyesalan dalam hati. Aku
menyesalkan tindakanku sepuluh tahun yang lalu. Keputusanku untuk belajar ilmu
fisika dan mendalaminya di negeri matahari terbit, suatu langkah yang salah.
Karena keputusanku itulah, aku harus kehilangan dua sahabatku.
Aku menatap pelan matahari yang hampir tenggelam. Cahayanya
memberikan bayangan di pangkal pohon cemara. Pohon cemara bergemerisik pelan,
ditiup angin. Aku merapatkan jaketku.
Hm, aku berdiri. Hampir malam. Sebelum pergi, aku kembali
mengusap ukiran namaku di batang kokohnya. Untuk terakhir kali. Ya, aku harus
kembali ke Jepang, untuk selesaikan masa kontrak. Dan, entah kapan aku harus
kembali lagi ke sini.
Matahari telah tenggelam sepenuhnya. Aku meninggalkan pohom
cemara itu. Bunyi gesekan langkah kaki dengan rumput, gesekan daun pohon
cemara, suara binatang malam, dan aroma bunga krisan memenuhi sekelilingku.
Indah, serenade simfoni terindah dalam hidupku…
*****