Aku
sering melihatnya duduk di bawah pohon cemara di samping lapangan basket. Rambutnya
yang diikat ke atas, dan penampilannya
yang sederhana. Tidak terlalu norak dan tidak terlalu glamour. Juga, tas cokelat yang selalu di sampingnya.
Dia
selalu menggenggam buku notes kecil. Sepanjang aku latihan basket, dia selalu menggoreskan
penanya di atas buku itu. Aku heran. Remaja seusianya tak jenuh untuk menulis. Sepanjang
hari, selalu aku melihatnya di bawah pohon itu. Diam-diam, aku memperhatikan gadis
itu. Saat ia lelah menulis, ia membaca buku. Meski tak terlalu tampak judulnya,
tapi aku bisa melihat tampilan covernya, Oliver Twins, karya Charles Dickens. Seakan
tak pernah bosan ia membaca kalimat di buku itu secara berulang-ulang.
Dari
Jeremy, teman se-tim basket, kuketahui namanya Anggi. Kelas XII IPA 1. Berarti,
kelasnya terpaut jauh dari kelasku, XII IPS 2. Tapi, aku cukup tertantang untuk
mencari tahu tentang gadis misterius ini.
Matahari
hampir terbenam seutuhnya. Sinarnya menyisakan cahaya jingga terang yang
menembus sela-sela mega. Aku baru saja menyelesaikan latihan basketku pada hari
ini. Dan Anggi, tampaknya telah selesai untuk berdiam di bawah pohon cemara hari
ini. Dan mulai mengemasi bukunya dan beranjak.
Tampaknya
dia tahu bahwa sedang kuperhatikan. Ia menoleh ke arahku. Dia tersenyum. Aku tertegun.
Namun, aku membalas dengan senyum kikuk. Anggi, aku baru tahu bahwa dia memiliki
senyum yang luar biasa. Senyumnya membuatku tertegun sesaat. Namun akhirnya,
aku menuju tempat parkir, mengambil motorku.
*****
Hari
ini pun, aku kembali menjumpai Anggi. Dia sedang menekuni bukunya. Aku tidak latihan
hari ini. Tapi aku menyempatkan diri untuk melihat Anggi, sebentar saja. Aku selalu
penasaran, apa yang selalu ditulisnya. Mungkin suatu saat nanti, Anggi akan mengizinkanku
mengintip isi bukunya.
Karena
tidak latihan, aku mencoba memasukkan sendiri kedalam ring. Sial! Bola itu memantul
dari pinggir ring dan menuju ke arah… ANGGI?! Bola itu mendarat tepat di bawah
kaki Anggi. Aku mematung di tengah lapangan basket saat Anggi menghentikan kegiatan
menulisnya. Dia menggenggam bola itu. Tatapannya lurus, tertuju padaku.
“Bolamu?”
katanya sambil mengulurkan bola.
“Ngng…”
aku gugup. “Ya.. Hm, terima kasih.”
Aku
menuju ke arahnya. Meminta bola itu.
“Terima
kasih,” ucapku sambil menatap matanya. Oh, Tuhan! Aku
baru menyadari, dia memiliki mata cokelat bening yang indah.
“Sama-sama,”
dia tersenyum simpul.
“Namaku
Adit,” entah pikiran darimana, tanganku refleks terulur.
Dia
terlihat bingung, namun lagi-lagi, dia menampakkan senyumnya. Senyum yang
membuat setitik lesung pipi di pipi kanan.
“Anggi.”
*****
To Be Continued