BY
: Afifah M
Arlin membaca pesan
singkat di handphonenya. Sambil
senyum-senyum, ia membacanya berulang-ulang untuk yang kesekian kali. Dua
kalimat yang terpampang manis di HPnya, mampu membuat Arlin tak bisa mendengar ocehan
dua orang sahabatnya yang kini melotot dengannya.
“Lin!”
“….”
“Arlin…!”
“….”
“Arlina Devita!”
“Emm?” Arlin
memalingkan wajahnya dari handphonenya. Senyumnya masih tak luntur meski
mendapat tatapan tajam dari sahabatnya.
“Kamu itu kenapa, sih?!
Kita lagi berbelasungkawa karena kematian Mang Johan, tukang kebun sepuh
sekolah kita. Eh, kamu malah senyum-senyum!” seru Irine.
“Tau nih anak. Orang
lagi sedih, kamu senyum-senyum! Dengerin dong!” tambah Fira jengkel.
“Iya, iya. Aku turut
berduka cita,” tukas Arlin. Arlin memandangi HPnya lagi. Masih dengan senyumnya
yang diiringi helaan nafas gembira.
“Arliiiin, serius
dooong!” Irine merebut handphone Arlin yang jadi biang kekesalan Irine dan
Fira. Irine membaca pesan yang tertera jelas dengan wajah masam. Kemudian air
mukanya berubah saat melihat nama pengirim,”Kak Niko?!”
“Irine!” Arlin bangkit,
merebut HPnya kembali. Rona merah menyemburat di kedua pipinya. “Kembaliin!”
“Arliiin, kenapa cuma
SMS kak Niko segitu bahagianya sih?” Fira sewot.
Arlin mendelik.
“Kak Niko itu senior di
English Club. Emang salah?”
“Oh, jadi dia senior
kamu,” kata Irine masih kesal. “Bukan maksud lain?”
“Bukan!” sambar Arlin
cepat. “Kak Niko Cuma nanyain kesiapan aku buat lomba besok lusa. Katanya, kalo
punya kesulitan, ya datang ke klub sepulang sekolah. Dia bakal ngasih bimbingan
ekstra.”
Kerutan curiga di
kening Irine dan Fira lenyap.
“Terus, kamu mau kesana
nanti?” Tanya Fira. Dia terus mencecar Arlin.
“Iyalah, aku mau ngasih
performa terbaik di lomba nanti.”
Irine dan Fira berpandangan.
“Terus kamu gak ikut kita karaoke?”
Arlin menggigit bibir,
“yah, maaf deh. Aku kira bisa besok.”
“Ya udah deh, gak
pa-pa,” Fira menghela nafas.
“Eh, udah bel. BTW Lin,
kamu udah PR fisika? Aku belum nih. Lihat ya.”
*****
Arlin menggerutu
sepanjang koridor sekolah. Kelasnya terlambat pulang 10 menit karena ditahan
Pak Hikmat, guru PKn. Mereka mengerjakan latihan soal yang wajib dikumpul hari
ini juga. Jika tidak, nilai mereka akan kosong. Pak Hikmat merupakan guru yang
tidak segan-segan memberikan nilai nol untuk pelajarannya.
“Ah, telat deh. CK!”
Arlin mendecak. Pintu ruangan English
Club setengah terbuka. Di raknya, tersusun dua pasang sepatu yang salah satu
pasangnya berukuran besar.
“Assalamua’laikum,”
ucap Arlin sambil mendorong pintu.
“Waa’laikumsalam,”
sambut suara di dalam.
Arlin terkejut mendapat
kak Niko dan Erika duduk berhadap-hadapan dengan kamus tebal dan buku tenses berserakan.
“Erika? Bukannya
pembimbingnya kak Bella dan Ms. Indah?” Tanya Arlin heran. Tidak, tepatnya
bukan heran. Melainkan… kecewa.
“Kak Bella hari ini
kursus di luar, kalo Ms. Indah cuti sakit,” terang Erika. “Jadi diganti oleh
kak Niko deh!”
Aaaargh!
Kenapa harus kak Niko sih?! Arlin membatin tak rela. Dia
mengambil posisi di tengah Niko dan Erika.
“Kalian belajar bersama
saja. Lagipula, kalian kan sama-sama menggeluti bidang speech,” Niko tersenyum.
Arlin selalu tak tahan
dengan senyum itu. Membuat lelaki di hadapannya tampak manis dan menggemaskan.
Arlin sudah lama mengaguminya. Semenjak ospek hari pertama. Tidak seperti kakak
pembimbing lainnya yang sok cari muka atau nge-bossy. Niko memperlakukan peserta ospek dengan baik dan tak segan
berbaur dengan mereka. Apalagi saat demo ekskul. Niko sebagai salah satu satu member English Club, memberikan penjelasan
dengan “baik sekali”. Dan Arlin masuk mendaftar demi mengenal lebih jauh kakak
senior yang satu ini.
Pucuk dicinta, ulam pun
tiba. Arlin terpilih sebagai member
yang dipercaya English Club sebagai wakil sekolah dalam lomba yang bertemakan
“Show Yourself To Reach Your Destiny” dalam rangka hari Pendidikan Nasional.
Betapa bahagianya Arlin. Terlebih saat mengetahui pembimbingnya adalah Ms.
Wenny dan Niko. Niko! Arlin semakin rajin mengikuti kegiatan English Club dan
berpartisipasi dengan baik di dalamnya.
*****
Arlin sedang mengaduk
mi ayamnya dan berkonsentrasi dengan makanan ini. Perutnya lapar bukan kepalang
karena tidak sarapan. Ehm, dan juga karena disuguhi pelajaran matematika yang
membuatnya perutnya semakin melilit.
“Eh, Fir, Lin, tuh
lihat cewek tinggi yang pake bandana putih,” bisik Irine pada Fira dan Arlin.
Otak gosipnya kambuh.
“Mana?” Fira antusias.
Arlin tidak menghiraukan karena sibuk menuntaskan urusan perutnya.
“Itu. Yang di depan
pintu XII IPA 4. Nah, tuh yang lagi ngibas rambut.”
“Oh, ya ya. Emang
kenapa?”
Fira dan Irine masih
sibuk membicarakannya. Arlin tidak menoleh, tapi ia mendengarkan kata per kata
yang diucapkan Irine dan Fira.
“Ketua tim cheerleader tuh. Cantik ya? Dia juga
sekretaris di Chemical Club lho. Ih, pasti smart
abis,” celoteh Irine.
“Dia juga kan, Queen tahun lalu ya? Bener gak?” tambah
Fira.
“Yep, betul banget. Dia
juga mewakili lomba IPTEK se-Indonesia. Masuk 50 besar tuh. Salut deh.”
“Udah cantik, smart,
wawasan luas, apalagi pergaulannya.”
Arlin berpaling dari mi
ayamnya. Tampak penasaran siapa yang kedua sahabatnya pergunjingkan. Kening
Arlin penuh dengan butir keringat. Bibirnya kemerahan. Kepedesan.
“Sssh.. ssh.. emang
siapa sih yang kalian omongin?” Arlin meraih es jeruk di depannya.
“Ya ampun Lin, kamu gak
tau?!” Irine pasang tampang kaget.
Arlin masih tenggelam
dalam segarnya air jeruk. Tapi masih menyimak omongan kedua sohibnya.
“Itu Jovika Rassmussen,
kelas XII IPA 4…”
“…sekaligus mantan
senior kamu…”
“…Nicholas Pradana
Putra alias Niko.”
“UHUK!”
*****
#TO BE CONTINUED#