“Arliiin!” pekik Irine
saat melihat Arlin tersedak air jeruk. Bulir dan airnya merembes masuk ke
hidungnya. Wajahnya yang merah karena efek cabai, semakin merah.
“Uhuk! Uhuk!” batuknya
menjadi-jadi. Tangannya menepuk-nepuk dadanya.
“Nih!” Fira memberikan
tisu.
“Lebay ih, sampe
segitunya,” gerutu Irine.
Arlin kesal dibilang
lebay. Dia mengelap pelipis dan hidungnya. Dia menyingkirkan mangkok mi ayamnya
yang isinya tinggal seperempat lagi. Tak berselera ia melanjutkan makannya
setelah mendengar cerita barusan. Pikirannya berkecamuk. Kok kak Niko gak pernah cerita ya? Pacarannya udah berapa lama?
Kenapa bisa putus? Apa kak Niko masih sayang?
“Kalian tau darimana?”
Tanya Arlin datar.
“Ehm, waktu ospek kan
dia muncul. Sebagai perkenalan Queen
tahun lalu,” jelas Irine. “Eh? Waktu itu kamu sakit ya kalo gak salah?
Dehidrasi karena lari-lari bawa ember yang disuruh panitia.”
“Iya,” tukas Arlin
setengah bête. Teringat ospek tahun lalu. Ia yang pingsan karena disuruh bawa
ember yang isinya air sambil lari-lari di tengah lapangan yang panas kerontang.
“Eh, kalian tau
darimana kalo kak Jovika mantan kak Niko?” Arlin tampak lesu.
“Waktu ospek juga. Pas
dia ngenalin diri. Serempak, kakak yang lain teriak ‘Niko! Lihat mantan kamu!
Ciye’. Gitu!” Jelas Fira.
“Hubungan mereka udah
jalan tiga tahun, tapi selalu putus-nyambung. Seminggu kemarin baru udah putus
lagi,” Irine menambahkan.
Arlin
tampak tak bersemangat.
“Eh, tumben Lin, kamu
mau tahu gosip?” selidik Irine.
“Ya iyalah, kakak
pembimbingnya Arlin. Ya Arlin pasti care
dong,” Fira yang menjawab pertanyaan Irine.
Arlin meneguk sisa es
jeruknya. Merentangkan tangannya dan berujar pelan.
“Ke kelas yuk, bentar
lagi bel nih!”
Irine dan Fira
berpandangan melihat tingkah Arlin yang aneh. Tanpa berbicara lagi, mereka
mengikuti langkah Arlin.
*****
“…. Nah, Arlin. Coba
lafalkan kalimat ini dengan cepat dan runtut buat melatih pronunciation kamu….” Niko menyodorkan kertas yang ditulisnya.
“….”
“Arlin?”
“….”
“Arlina Devita?”
Arlin gelagapan. Tampak
malu tertangkap basah melamun.
“Eergh, iy… iya kak.
Maaf.”
“Kamu kenapa? Melamun
terus dari tadi?” Tanya Niko.
Arlin tersenyum. “Gak
pa-pa kak.”
“Ada masalah?”
Arlin menggeleng.
“Jangan bohong. Sudah
lima kali kamu tidak berkonsentrasi. Seolah-olah kamu mencerna apa yang aku
berikan, padahal pikiranmu berkelana kemana-mana,” tegur Niko.
Arlin termenung.
Wajahnya sendu.
“Ya sudah,” kata Niko
akhirnya. “Kita pulang saja. Hari sudah sore. Istirahatkan dirimu. Besok kamu
harus datang ke lokasi lombanya pagi-pagi. Pelajari saja yang ada.”
Arlin tersenyum tipis.
Mulai mengemasi kamus dan buku tensesnya.
“Jo! Aku pulang ya. Nih
kunci ruangan. Besok kasih kuncinya ke sir
Dana ya,” Niko melempar kunci dengan gantungan Eiffel itu ke arah Jonathan yang sedang membimbing Nadyla, Rudy dan
Nisa untuk debate besok.
“Sip. Hati-hati.”
*****
Arlin menatap sosok
yang terpantul di cermin. Dirinya sendiri. Mencoba membandingkan dirinya dengan
Jovika Rassmussen, a queen in this school
last year.
Ia menatap rambutnya
yang penuh rol rambut. Semenjak melihat Jovika yang berambut ikal, Arlin
bertekad mengubah gaya rambutnya menjadi sama seperti Jovika. Lalu tatapannya
beralih ke wajahnya. Penuh dengan cairan krem yang menutupi wajahnya, kecuali
mata dan bibirnya. Ia telah melihat kulit wajah Jovika yang mulus tanpa jerawat
dan flek. Dan tadi sore, ia tidak langsung pulang ke rumah melainkan ke salon
untuk facial yang menghabiskan uang jajannya tiga hari ke depan. Di sisi bad
covernya pun telah tersedia irisan timun untuk mendinginkan matanya ketika
tidur.
Arlin juga mengambil
sebuah obat untuk menghaluskan kulit di lemari mamanya. Pokoknya, Arlin
bertekad akan seperti Jovika. Tidak, tapi lebih dari Jovika!