Bulan sabit menggantung di ufuk
barat langit kota kembang saat malam baru saja tiba. Reena terduduk di ambang
jendela kamarnya saat beberapa bintang berpijar terang. Angin berhembus pelan, meniupkan pada daun-daun pohon
pakis di halamannya yang asri. Suara kalong yang berterbangan menimbulkan
gemerisik pelan di sekitar lingkungan rumahnya.
Reena menghela nafas. Matanya
menatap bintang yang berkelip-kelip dengan penuh kerinduan. Sementara tangannya
menimang secarik kertas yang berlipat empat. Ia enggan untuk membuka kertas itu
meski hatinya ingin sekali membaca tulisan di dalamnya. Tulisan tangan
kekasihnya.
Sebastian Farel.
Reena bergetar saat mengingat nama
Farel, kekasihnya itu. Betapa ia amat mencintai dan selalu merindukannya. Meski
Farel tidak sepopuler dan tidak sehebat yang dilihat orang lain, namun bagi
Reena, Farel segalanya. Farel adalah muara kebahagiaannya, tempat ia bersandar
dan tempat ia melabuhkan kegelisahannya. Reena telah mencurahkan cintanya pada
Farel, telah memberikan seluruh hatinya untuk laki-laki itu. Laki-laki yang
diimpikan Reena untuk merajut masa depan bersamanya.
Dan Farel selalu ada untuk Reena.
Reena membuang nafas berat.
Mendesah saat mengingat perpisahannya dengan Farel tadi siang. Farel yang
melanjutkan studinya ke Perth. Meninggalkan Indonesia, pekerjaannya,
keluarganya, dan juga kekasihnya. Berat memang. Farel yang selalu haus akan
ilmu memutuskan untuk pergi sementara. Dan Reena sangat menyukai semangatnya
itu.
Farel meninggalkan surat untuk
Reena.
Reena selalu protes karena Farel
amat jarang berbicara lugas terhadapnya. Farel tertawa saja saat Reena
memprotesnya. Lalu membelai rambut Reena lembut. Menarik Reena dalam
rengkuhannya dan berkata dengan sayang.
“Honey, kamu akan menyadari betapa
hebatnya pengaruh lautan kata-kata itu. Mampu melakukan apapun dan menundukkan
apapun.”
Reena tersenyum penuh haru saat
mengingat kata-kata Farel. Ya, Farel mungkin benar. Reena selalu saja terpesona
akan rangkaian kata-kata Farel dalam tiap suratnya. Bukan kata-kata manis
picisan, namun kata-kata penuh motivasi, semangat, dan isi hatinya sendiri yang
apa adanya.
Bandung,
November 2011
Dear my beloved, Sista Areena.
Maafkan aku, tak mampu
ungkapkan apapun saat di depanmu. Karena sejujurnya, menatap sepasang mata
hitam milik bidadari, sungguh mampu membuatku membisu tanpa bisa mengungkapkan
sepatah katapun. Terima kasih pada sang maha cinta yang telah mempertemukan
kita. Seorang pemuda biasa mampu mendapatkan cinta sang bidadari. Kaulah cintaku,
sayangku Reena.
Reena tersenyum tersipu saat
membaca paragraf awal surat Farel. Bahkan kalimat pembukapun, mampu membuat
Reena merindukan sosok Farel. Reena melanjutkan membaca lagi.
Reena, berawal dari surat ini,
aku akan mengajakmu bernostalgia sebentar. Saat dimana Tuhan mempertemukan kita
dengan cara-Nya yang berbeda. Reena, saat memilikimu, aku semakin merasa yakin
bahwa Tuhan memang memiliki rencana indah buatku. Dia telah kirimkan bidadari
yang mampu buatku tak merasa kesepian lagi. Bahkan saat hujan di perpustakaan
sekolah, kau ingat sayang? Dimana kau genggam tanganku, meyakinkanku, oh Tuhan,
betapa aku mencintaimu Sista Areena.
Reena merasakan matanya menghangat
dan berkabut. Ingin ia bertemu Farel sekarang, memeluknya erat, menumpahkan
rasa rindunya. Berbisik berulang-ulang pada Farel betapa ia amat menyayanginya,
mencintainya dengan segenap jiwa. Meyakinkan Farel bahwa cintanya hanya untuk
Farel seorang.
Reena, aku tahu. Kau masih
memikirkan Indira. Tenanglah sayangku, dia hanya masa laluku. Dia bukan apa-apa
buatku. Kau tak perlu mengkhawatirkan aku akan dia. Yang kuinginkan hanya
dirimu, Sista Areena. Kaulah masa depanku, penyempurna hidupku. Hingga aku
mampu bekerja mandiri, dalam mimpi-mimpiku hanyalah bersamamu.
Reena sedikit kesal saat membaca
nama Indira. Mantan kekasih Farel. Reena sama sekali tidak menyukai Indira yang
pernah mencoba mendekati Farel kembali. Tapi pada kalimat akhir paragraf surat
Farel sedikit meredam kekesalan Reena.
Reena, begitu kuliahku selesai
dan aku mendapat jabatan baru saat kembali nanti, tunggulah. Akan kutunaikan
janjiku di bawah hujan saat itu. Akan kubuktikan bukti cintaku padamu Reena.
Aku akan melamarmu, Reena. Menjadikanmu ibu dari anak-anakku, menjadi
bidadariku, menjadi pendamping hidupku selamanya.
Reena tak mampu lagi menahan air
matanya. Air matanya membasahi surat itu, membuat titik-titik air di permukaan
kertas itu. Reena semakin tak mampu berpikir jernih saat membaca kalimat akhir
surat Farel.
Maukah menikah denganku,
Reena?
*****