Semenjak
kejadian itu, aku menjadi akrab dengan Anggi. Ternyata orangnya ramah, baik,
dan lembut. Kendatipun begitu, Anggi masih tak bisa menyembunyikan kesan misteriusnya.
Di balik bola matanya yang indah, ia masih menyimpan satu rahasia misterius
yang ditutupi. Sorot matanya seperti menutup diri dari dunia luar.
Seusai
latihan basket, aku berniat mengantarnya pulang karena hampir malam. Tapi dia
menolak. Dia hanya berucap satu hal.
“Aku
ingin sendiri disini, Dit. Aku ingin merasakan sepinya sekolah pada hari ini.
Aku ingin merasakan menjadi manusia terakhir.”
Aku
bingung akan ucapannya. Otakku berusaha mencerna maksud dari ucapan Anggi. Tapi
nihil. Memori otakku tak kunjung dapat memahaminya.
“Kau
yakin? Jika kau mau, aku bisa menunggu urusanmu selesai,” aku kembali
meyakinkannya.
Anggi
menggeleng, dan dia kembali tersenyum. “Tidak apa-apa, Dit.”
Aku
menghela napas panjang. Secara tak sengaja, mataku melirik notesnya.
“Baiklah,
hati-hati Nggi,” tukasku. “Notesmu, awas… ketinggalan.”
Anggi
terkejut, lalu menjawab dengan terbata.
“Ya…
uhm.. oke. Ya, terimakasih.”
Aku
menjalankan motorku. Di kaca spion, aku melirik Anggi. Dia sedang sibuk
menekuri bukunya.
Esoknya,
aku tidak melihat Anggi. Kemana dia? Lalu, dengan hati yang dipenuhi tanda tanya,
aku menuju kelasnya.
“Anggi
sakit, pagi tadi orang tuanya mengantarkan surat izin,” kata salah satu teman
kelasnya.
Sakit?!
Aku khawatir. Hm, ia tidak mengabariku dan tidak memberitahu. Hm, semoga saja
dia baik-baik saja. Aku yakin dia baik-baik saja. Kuyakin Anggi anak yang kuat
dan tegar.
Tetapi,
seminggu telah berlalu. Dan hari ini telah menginjak hari kesepuluh. Aku
kesepian. Dimana Anggi? Aku harus mencari tahu, dimana dia. Aku pergi ke
kelasnya dan menanyakan hal itu.
“Dimana
Anggi?” tanyaku.
“Anggi?
Oh!” dia berteriak seperti teringat sesuatu. “Sebentar, ada titipan dari
Anggi.”
Titipan?
Cewek
itu menggenggam buku yang sangat kukenal…
“Ini
dari Anggi. Untuk Aditya Nugroho kelas XII IPS 2. Kamu kenal dengan Aditya?”
Tanya cewek itu.
Aku?!
“Aku Aditya.”
“Maaf,
keluarganya memberikannya lima hari yang lalu. Tapi aku kelupaan.”
“Mana
Anggi?!”
“Anggi…
ah,” setitik air menitik di ujung matanya.
“Kenapa
Anggi? Ada apa?!”
“Anggi
meninggal.”
JDER!
Aku
lungkrah. Tulangku seperti diloloskan satu-satu.
*****
Aku
terpekur di bawah pohon cemara ini. Pohon cemara ini telah banyak memberikan
kenangan manis tentang Anggi. Aku mengenal Anggi, di bawah pohon ini, dan di
bawah pohon inilah Anggi mengisi hari-hari terakhirnya.
Hm,
sungkan rasanya aku untuk menangis. Tapi…
Anggi
menuliskan arti hidup yang sesungguhnya. Dia mampu tegar dan tersenyum saat ia
menyimpan pedih dalam-dalam hatinya.
Kubuka
lembar pertama buku itu, tercium aroma yang amat kukenal. Bahkan aroma parfum
stroberi yang dipakai Anggi pun masih melekat di lembaran buku ini.
*****
Aku tahu hidupku takkan lama. Entah kapan aku dapat
bertahan lebih lama lagi. Esok, lusa, atau seminggu lagi. Sakit yang aku
rasakan sekarang, tidak sebanding dengan sepahit kenyataan yang aku terima
sekarang. Leukimia. Masih tidak percaya, bahwa aku, seorang Anggia Darma
mengidap penyakit itu. Aku merasa, Tuhan tidak adil. Saat itu, aku merasa
hidupku hancur, tak ada guna aku hidup. Dunia seakan gelap dan menolak
kehadiranku.
Aku perlahan menjauh dari dunia ini. Hanya aku
sendiri. Aku merasa, aku tidak dibutuhkan lagi. Hanya aku sendiri, dan
buku-buku ini. Inilah aku sekarang. Sering aku menjumpai siswa yang latihan
basket di sini. Aku sering menunggu mereka usai. Ingin menikmati saat-saat
menjadi manusia terakhir meski hanya sesaat.
Dia ibarat cahaya yang menerangi dunia gelapku. Dia
datang secara tiba-tiba dan tak disangka. Namanya Adit. Salah satu dari orang
yang berlatih basket saat itu. Dialah semangatku, motivasiku, dan satu-satunya
orang yang mampu buat aku tersenyum lagi. aku tahu, aku tak boleh jatuh cinta
padanya. Karena umurku yang bisa saja berakhir tiba-tiba. Tetapi, semakin aku
memusnahkan rasa itu, semakin besar pula cintaku. Aku tak mungkin dapat
menemaninya lagi, karena vonis terakhir dokter menyatakan: aku stadium empat
leukemia.
Hari ini penyakitku kambuh. Adit telah menawarkan
untuk mengantarku, tapi aku menolaknya. Aku takut dia tahu tentang ini.
Lagipula, malam ini penuh bintang. Saat yang menyenangkan untuk jadi manusia
terakhir. Bisa saja, ini jadi malam terakhirku. Aku tak boleh menyiakannya.
Lima jam lagi aku di operasi. Selang infus dan
kabel-kabel melilit di sekujur badanku. Syukurlah aku bisa menggerakkan kedua
tanganku. Setidaknya, jika aku meninggal, ini bisa jadi tulisan terakhirku. Hm,
aku kangen Adit… Adit, kamu dimana? Aku butuh kamu sekarang…
*****
Aku
terkejut. Anggi, pantas saja dia diam sepanjang hari. Anggi, meskipun dalam
diamnya dia tersenyum, tapi dalam hatinya, dia menahan kenyataan yang sulit
diterimanya. Anggi, seandainya kau tahu, aku mencintaimu sekian lama. Tapi
sekarang, kau pergi dengan cepat, secepat aku mengenalmu. Anggi, aku
merindukanmu…
Aku menatap langit mendung,
langit kelabu. Rintik-rintik hujan membasahi tiap helai daun cemara yang
meneduhkanku. Aku menengadah. Dan aku merasa, dibalik awan kelabu itu, Anggi
tersenyum menatapku.
*****
END!